Danau Sentani menjadi danau terbesar kedua di Papua seluas 9.635 hektar. Terletak di selatan Sentani, Kabupaten Jayapura, danau ini dikelilingi oleh pegunungan Cycloops, dan sebuah rumah bagi sekitar 22 pulau kecil yang tersebar di seberang danau. Ada 24 dusun di Danau Sentani, masing-masing melestarikan budaya hidup yang unik dan khas. Masyarakat adat Pulau Asei, misalnya, dikenal karena keterampilan kerajinan kulit kayu mereka. Di sisi lain, masyarakat Desa Taturi, sebagian besar adalah seniman yang ahli dalam lukisan batu.
Menurut Pilipus M. Kopeuw, STh, MPd, seorang peneliti dan penduduk asli Sentani, kata-kata ‘suku Sentani’ tidak sepenuhnya benar untuk merujuk kepada seluruh penduduk asli yang tinggal di danau. Ini karena masing-masing dusun dihuni oleh berbagai suku. Setidaknya ada enam suku asli yang tinggal di satu dusun.
Meskipun ada perbedaan, dusun-dusun ini disatukan oleh satu hal: legenda. Orang-orang di Sentani percaya bahwa mereka berasal dari leluhur yang sama dari Papua New Guniea. Leluhur mereka telah tiba di tanah ini dengan menunggang seekor naga.
Orang-orang di Sentani mencari nafkah dari memancing dan menanam umbi-umbian dan sayuran. Ikan di danau tidak pernah berkembang biak, tetapi ikan tidak pernah habis meskipun jutaan kali diambil dari air setiap hari. Pohon sagu tumbuh subur di alam, meskipun pohon ini tidak dibudidayakan.
Tradisi unik lain yang tumbuh di antara peradaban Sentani adalah sarana barter tradisional. Benda-benda seperti manik-manik, kapak batu (tomako), dan gelang batu digunakan dalam perdagangan. Ada tiga jenis manik yaitu haye, hawa, dan nokhong. Tomako juga tersedia dalam tiga jenis yaitu pendek (yun seki), sedang (relae), dan panjang (ebha bhuru). Benda-benda ini masih digunakan di zaman modern sebagai mas kawin.
Di Festival Danau Sentani, bergulir dari 19 hingga 23 Juni, pengunjung diperbolehkan untuk menjelajahi tradisi unik dusun di Sentani, serta menikmati kuliner lokal dan keindahan alam.